KOPERASI sebagai bentuk kerja sama ekonomi secara ideologis memuat makna sebagai usaha penguatan sosial politik untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat. Akan tetapi, dalam praktiknya, muatan kepentingan politik dan sosial ternyata lebih berat ketimbang muatan ekonominya sehingga usahanya sulit untuk berkembang maju.]
Di samping itu, banyak koperasi yang didirikan hanya untuk memenuhi formalitas “ideologis”, sebagai cara yang mudah untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah yang memang mensyaratkan adanya bentuk usaha koperasi. Akibatnya, aspek ekonomi bisnis koperasi kurang berkembang optimal karena hidupnya sepenuhnya menjadi bergantung pada adanya bantuan pemerintah tersebut. Karena itu, banyaknya koperasi tidak dengan sendirinya mencerminkan adanya peningkatan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Fenomena munculnya mekanisme persaingan yang tidak sehat dalam kehidupan internal usaha kecil dan koperasi makin melemahkan solidaritas ekonomi dalam masyarakat. Hal itu juga mendorong terjadinya proses pemiskinan sistematik, yang secara perlahan-lahan menggerogoti kekuatan usahanya tanpa disadari oleh para pelakunya sendiri, seperti yang terlihat pada dekade awal tujuh puluhan, yaitu jatuhnya industri kecil pertenunan dan koperasi batik di Pekalongan, Surakarta, Tasikmalaya, Majalaya, dan di tempat lainnya.
Sekarang ini, di pusat industri kecil dan koperasi, seperti di Ceper, Jepara, dan Tegal, sedang terjadi proses pemiskinan secara bersama-sama, yang menemukan bentuknya pada munculnya kekuatan penekan usaha mereka, yaitu dari para rentenir, pelaku pasar yang membeli produknya dengan pembayaran tempo, dan para pedagang bahan baku yang fluktuatif harganya dan tidak stabil pengadaannya. Situasi demikian telah memerangkap mereka dalam ketergantungan permanen.
Sementara itu, kehidupan internal usaha kecil yang makin penuh sesak telah mendorong terciptanya keadaan saling menghancurkan, kanibalisme untuk saling memakan sesamanya. Itulah sebabnya, koperasi di sektor industri tidak pernah tumbuh menjadi kuat, seperti GKBI, Koperasi Pengecoran di Ceper, Klaten, dan Koperasi Kerajinan Perak di Kota Gede, Yogyakarta.
Peranan usaha kecil dan koperasi, seperti diakui banyak pihak, dalam menyelamatkan krisis ekonomi nasional sangatlah besar. Sebab, usaha ini dapat menyerap tenaga kerja yang banyak, dan mempunyai keluwesan untuk berubah, sehingga mudah berkelit di saat sulit.
Akan tetapi, lahan bermain bagi usaha kecil dan koperasi terasa makin penuh, bergesekan tanpa inovasi dan standardisasi, dan tidak memberikan harapan terjadinya perubahan struktural di dalamnya. Pemberdayaan usaha kecil dan koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidaklah mungkin jika tidak ada perubahan struktural dalam sistem industrial yang menopangnya.
Proses pemiskinan rakyat
Problem kemiskinan rakyat kecil bukanlah problem ekonomi semata-mata, tetapi merupakan problem yang kompleks dan berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik sosial, politik, budaya, hukum, maupun agama. Rakyat kecil pada umumnya berpandangan bahwa persoalan kaya dan miskin sepenuhnya berkaitan dengan suratan nasib. Pandangan demikian dibentuk oleh kesengsaraan dan kesulitan yang selalu melilit kehidupan mereka, dan terbukti telah menguras energi nalarnya, sehingga tidak mampu berpikir untuk mencari jalan keluar dari impitan kemiskinannya.
Akibatnya, mereka percaya bahwa dengan peruntungan sajalah nasib hidup seseorang dapat berubah, dan biasanya mereka berusaha mencapainya dengan cara-cara mistik dan jalan pintas. Merebaknya perjudian dalam berbagai bentuknya di kalangan rakyat kecil, para nelayan dan buruh perkebunan, telah memerangkapnya dalam proses pemiskinan permanen, dan kemudian mendorong kuatnya kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, mengubah kemiskinannya secara mendadak.
Fenomena sosial menunjukkan bahwa ternyata nasib para pelaku usaha kecil sama saja dengan nasib para petani yang mengalami proses involusi atau pemiskinan dalam kehidupan internalnya sendiri. Jika proses pemiskinan petani terjadi karena luas tanahnya yang mereka miliki makin sempit, dibagikan melalui warisan kepada anak-anaknya-sementara harga jual produknya pun tidak dapat mengikuti kenaikan harga-harga produk industri, seperti pupuk dan biaya transportasi-maka pemiskinan terhadap pengusaha kecil terjadi karena kelemahan dan ketimpangan struktural di sektor pasar, permodalan, dan teknologi.
Kenyataan bahwa tidak terjadi perluasan pasar bagi usaha kecil dan koperasi, bahkan pasar domestik baginya juga semakin menyempit karena direbut produk luar negeri yang lebih murah dan lebih berkualitas, mengakibatkan usaha mereka jatuh secara bersama- sama. Jika di kandang sendiri saja kalah, betapa sulitnya menang di kandang lawan.
Karena itu, diperlukan pendekatan yang mampu mengintegrasikan ilmu ekonomi dengan ilmu sosial, politik, hukum, budaya, dan agama, untuk memahami realitas kemiskinan secara lebih multidimensi. Pendekatan tunggal yang menekankan aspek ekonomi telah gagal untuk memahami realitas kemiskinan secara utuh.
Buktinya, skala prioritas pembangunan ekonomi untuk mengejar angka pertumbuhan ternyata telah melahirkan konglomerasi industri dan perbankan, yang justru memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Akibatnya, bangunan ekonomi konglomerasi ambruk, diterjang oleh konflik sosial, politik, budaya, dan agama yang berkepanjangan, sehingga menciptakan instabilitas sosial dan keamanan, yang secara langsung berdampak terhadap anjloknya investasi.
Paradigma penguatan solidaritas ekonomi
Realitas menunjukkan bahwa kekuatan dan keunggulan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, baik kehutanan, pertanian, perkebunan, perikanan, maupun kelautan, ternyata belum sepenuhnya digarap secara sungguh-sungguh dengan jiwa entrepreneurship yang tinggi. Buktinya telah terjadi suatu ironi yang amat memilukan. Indonesia sebagai negara agraris yang mempunyai kekayaan alam yang besar ternyata menjadi pengimpor besar produk-produk agraris itu sendiri, seperti beras, gula, dan buah-buahan. Kalau kita gagal lagi dalam berswasembada pangan, maka kekuatan apalagi yang masih tersisa pada bangsa ini, karena dalam soal pangan pun kita menjadi bangsa yang sepenuhnya bergantung pada luar negeri.
Berkali-kali pemerintah menggalakkan penggunaan produk dalam negeri dan menekankan pentingnya menyelamatkan pasar domestiknya yang besar. Akan tetapi, imbauan semacam itu seperti menaburkan debu di atas batu yang kering, berlalu lenyap begitu saja terempas oleh angin.
Persoalan economic recovery pada hakikatnya menuntut adanya solidaritas ekonomi bangsa yang kuat. Sebab, tanpa adanya solidaritas ekonomi, masing-masing pelaku ekonomi dan bisnis hanya akan mementingkan keselamatan dan kepentingan sendiri serta mempertajam kesenjangan sosial dan ekonomi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apabila solidaritas ekonomi rapuh, karena digerogoti oleh semakin meluasnya kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, maka solidaritas sosial pun akan mengalami keguncangan sehingga rentan memicu terjadinya konflik. Karena itu, persoalan ketahanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya menyangkut soal solidaritas ekonomi, bukanlah persoalan militer yang harus dihadapi dengan kekuatan dan cara-cara militer. Selama persoalan kemiskinan dan ketidakadilan dalam segala aspeknya tidak bisa diatasi secara konsisten, separatisme akan selalu muncul dan tidak akan pernah dapat dimatikan, meskipun banyak korban yang mati untuk mengatasinya.
Jika kita konsisten menjalankan amanat UUD 1945 tentang asas kekeluargaan dalam kehidupan ekonomi rakyat, seharusnya dijabarkan dalam komitmen politik membangun solidaritas ekonomi dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, dengan melakukan social engineering. Tanpa adanya solidaritas ekonomi yang kuat, koperasi sebagai manifestasi dan soko guru ekonomi rakyat, tidak akan bisa tumbuh kuat. Koperasi dan ekonomi rakyat akan mati jika dalam masyarakat sudah tidak ada lagi solidaritas ekonomi.
Fenomena sosial kehidupan masyarakat kita menunjukkan kuatnya solidaritas sosial dan budaya, tetapi ternyata tidak diikuti oleh menguatnya solidaritas ekonomi, bahkan ada kecenderungan semakin menurun. Lemahnya solidaritas ekonomi ini akan merontokkan kekuatan industri kecil dan menggiring mereka pada proses pemiskinan permanen. Akibatnya, penguatan struktur industri nasional yang saling menopang antara pelaku usaha besar, menengah, dan kecil, tidak berkembang menjadi budaya industrial yang kuat, obyektif, dan berkelanjutan.
Koperasi hanya akan bisa hidup dan menjadi kuat jika ditopang oleh kuatnya solidaritas ekonomi bangsa, untuk menjaga pasar domestiknya yang besar dan menggalakkan penggunaan produksi dalam negeri. Tanpa solidaritas ekonomi yang kuat, koperasi hanya tinggal mimpi karena hanya ada dalam rumusan normatif UUD 1945, tetapi tidak pada realitas sosial. Koperasi jadi antirealitas.[Musa Asy’arie, Guru Besar dan Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mantan Ketua Umum Koperasi Batur Jaya Ceper, Klaten]
Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/12/opini/422875.htm
http://maulanusantara.wordpress.com/2009/05/18/koperasi-kemiskinan-dan-runtuhnya-solidaritas-ekonomi/
Di samping itu, banyak koperasi yang didirikan hanya untuk memenuhi formalitas “ideologis”, sebagai cara yang mudah untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah yang memang mensyaratkan adanya bentuk usaha koperasi. Akibatnya, aspek ekonomi bisnis koperasi kurang berkembang optimal karena hidupnya sepenuhnya menjadi bergantung pada adanya bantuan pemerintah tersebut. Karena itu, banyaknya koperasi tidak dengan sendirinya mencerminkan adanya peningkatan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Fenomena munculnya mekanisme persaingan yang tidak sehat dalam kehidupan internal usaha kecil dan koperasi makin melemahkan solidaritas ekonomi dalam masyarakat. Hal itu juga mendorong terjadinya proses pemiskinan sistematik, yang secara perlahan-lahan menggerogoti kekuatan usahanya tanpa disadari oleh para pelakunya sendiri, seperti yang terlihat pada dekade awal tujuh puluhan, yaitu jatuhnya industri kecil pertenunan dan koperasi batik di Pekalongan, Surakarta, Tasikmalaya, Majalaya, dan di tempat lainnya.
Sekarang ini, di pusat industri kecil dan koperasi, seperti di Ceper, Jepara, dan Tegal, sedang terjadi proses pemiskinan secara bersama-sama, yang menemukan bentuknya pada munculnya kekuatan penekan usaha mereka, yaitu dari para rentenir, pelaku pasar yang membeli produknya dengan pembayaran tempo, dan para pedagang bahan baku yang fluktuatif harganya dan tidak stabil pengadaannya. Situasi demikian telah memerangkap mereka dalam ketergantungan permanen.
Sementara itu, kehidupan internal usaha kecil yang makin penuh sesak telah mendorong terciptanya keadaan saling menghancurkan, kanibalisme untuk saling memakan sesamanya. Itulah sebabnya, koperasi di sektor industri tidak pernah tumbuh menjadi kuat, seperti GKBI, Koperasi Pengecoran di Ceper, Klaten, dan Koperasi Kerajinan Perak di Kota Gede, Yogyakarta.
Peranan usaha kecil dan koperasi, seperti diakui banyak pihak, dalam menyelamatkan krisis ekonomi nasional sangatlah besar. Sebab, usaha ini dapat menyerap tenaga kerja yang banyak, dan mempunyai keluwesan untuk berubah, sehingga mudah berkelit di saat sulit.
Akan tetapi, lahan bermain bagi usaha kecil dan koperasi terasa makin penuh, bergesekan tanpa inovasi dan standardisasi, dan tidak memberikan harapan terjadinya perubahan struktural di dalamnya. Pemberdayaan usaha kecil dan koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidaklah mungkin jika tidak ada perubahan struktural dalam sistem industrial yang menopangnya.
Proses pemiskinan rakyat
Problem kemiskinan rakyat kecil bukanlah problem ekonomi semata-mata, tetapi merupakan problem yang kompleks dan berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik sosial, politik, budaya, hukum, maupun agama. Rakyat kecil pada umumnya berpandangan bahwa persoalan kaya dan miskin sepenuhnya berkaitan dengan suratan nasib. Pandangan demikian dibentuk oleh kesengsaraan dan kesulitan yang selalu melilit kehidupan mereka, dan terbukti telah menguras energi nalarnya, sehingga tidak mampu berpikir untuk mencari jalan keluar dari impitan kemiskinannya.
Akibatnya, mereka percaya bahwa dengan peruntungan sajalah nasib hidup seseorang dapat berubah, dan biasanya mereka berusaha mencapainya dengan cara-cara mistik dan jalan pintas. Merebaknya perjudian dalam berbagai bentuknya di kalangan rakyat kecil, para nelayan dan buruh perkebunan, telah memerangkapnya dalam proses pemiskinan permanen, dan kemudian mendorong kuatnya kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, mengubah kemiskinannya secara mendadak.
Fenomena sosial menunjukkan bahwa ternyata nasib para pelaku usaha kecil sama saja dengan nasib para petani yang mengalami proses involusi atau pemiskinan dalam kehidupan internalnya sendiri. Jika proses pemiskinan petani terjadi karena luas tanahnya yang mereka miliki makin sempit, dibagikan melalui warisan kepada anak-anaknya-sementara harga jual produknya pun tidak dapat mengikuti kenaikan harga-harga produk industri, seperti pupuk dan biaya transportasi-maka pemiskinan terhadap pengusaha kecil terjadi karena kelemahan dan ketimpangan struktural di sektor pasar, permodalan, dan teknologi.
Kenyataan bahwa tidak terjadi perluasan pasar bagi usaha kecil dan koperasi, bahkan pasar domestik baginya juga semakin menyempit karena direbut produk luar negeri yang lebih murah dan lebih berkualitas, mengakibatkan usaha mereka jatuh secara bersama- sama. Jika di kandang sendiri saja kalah, betapa sulitnya menang di kandang lawan.
Karena itu, diperlukan pendekatan yang mampu mengintegrasikan ilmu ekonomi dengan ilmu sosial, politik, hukum, budaya, dan agama, untuk memahami realitas kemiskinan secara lebih multidimensi. Pendekatan tunggal yang menekankan aspek ekonomi telah gagal untuk memahami realitas kemiskinan secara utuh.
Buktinya, skala prioritas pembangunan ekonomi untuk mengejar angka pertumbuhan ternyata telah melahirkan konglomerasi industri dan perbankan, yang justru memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Akibatnya, bangunan ekonomi konglomerasi ambruk, diterjang oleh konflik sosial, politik, budaya, dan agama yang berkepanjangan, sehingga menciptakan instabilitas sosial dan keamanan, yang secara langsung berdampak terhadap anjloknya investasi.
Paradigma penguatan solidaritas ekonomi
Realitas menunjukkan bahwa kekuatan dan keunggulan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, baik kehutanan, pertanian, perkebunan, perikanan, maupun kelautan, ternyata belum sepenuhnya digarap secara sungguh-sungguh dengan jiwa entrepreneurship yang tinggi. Buktinya telah terjadi suatu ironi yang amat memilukan. Indonesia sebagai negara agraris yang mempunyai kekayaan alam yang besar ternyata menjadi pengimpor besar produk-produk agraris itu sendiri, seperti beras, gula, dan buah-buahan. Kalau kita gagal lagi dalam berswasembada pangan, maka kekuatan apalagi yang masih tersisa pada bangsa ini, karena dalam soal pangan pun kita menjadi bangsa yang sepenuhnya bergantung pada luar negeri.
Berkali-kali pemerintah menggalakkan penggunaan produk dalam negeri dan menekankan pentingnya menyelamatkan pasar domestiknya yang besar. Akan tetapi, imbauan semacam itu seperti menaburkan debu di atas batu yang kering, berlalu lenyap begitu saja terempas oleh angin.
Persoalan economic recovery pada hakikatnya menuntut adanya solidaritas ekonomi bangsa yang kuat. Sebab, tanpa adanya solidaritas ekonomi, masing-masing pelaku ekonomi dan bisnis hanya akan mementingkan keselamatan dan kepentingan sendiri serta mempertajam kesenjangan sosial dan ekonomi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apabila solidaritas ekonomi rapuh, karena digerogoti oleh semakin meluasnya kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, maka solidaritas sosial pun akan mengalami keguncangan sehingga rentan memicu terjadinya konflik. Karena itu, persoalan ketahanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya menyangkut soal solidaritas ekonomi, bukanlah persoalan militer yang harus dihadapi dengan kekuatan dan cara-cara militer. Selama persoalan kemiskinan dan ketidakadilan dalam segala aspeknya tidak bisa diatasi secara konsisten, separatisme akan selalu muncul dan tidak akan pernah dapat dimatikan, meskipun banyak korban yang mati untuk mengatasinya.
Jika kita konsisten menjalankan amanat UUD 1945 tentang asas kekeluargaan dalam kehidupan ekonomi rakyat, seharusnya dijabarkan dalam komitmen politik membangun solidaritas ekonomi dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, dengan melakukan social engineering. Tanpa adanya solidaritas ekonomi yang kuat, koperasi sebagai manifestasi dan soko guru ekonomi rakyat, tidak akan bisa tumbuh kuat. Koperasi dan ekonomi rakyat akan mati jika dalam masyarakat sudah tidak ada lagi solidaritas ekonomi.
Fenomena sosial kehidupan masyarakat kita menunjukkan kuatnya solidaritas sosial dan budaya, tetapi ternyata tidak diikuti oleh menguatnya solidaritas ekonomi, bahkan ada kecenderungan semakin menurun. Lemahnya solidaritas ekonomi ini akan merontokkan kekuatan industri kecil dan menggiring mereka pada proses pemiskinan permanen. Akibatnya, penguatan struktur industri nasional yang saling menopang antara pelaku usaha besar, menengah, dan kecil, tidak berkembang menjadi budaya industrial yang kuat, obyektif, dan berkelanjutan.
Koperasi hanya akan bisa hidup dan menjadi kuat jika ditopang oleh kuatnya solidaritas ekonomi bangsa, untuk menjaga pasar domestiknya yang besar dan menggalakkan penggunaan produksi dalam negeri. Tanpa solidaritas ekonomi yang kuat, koperasi hanya tinggal mimpi karena hanya ada dalam rumusan normatif UUD 1945, tetapi tidak pada realitas sosial. Koperasi jadi antirealitas.[Musa Asy’arie, Guru Besar dan Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mantan Ketua Umum Koperasi Batur Jaya Ceper, Klaten]
Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/12/opini/422875.htm
http://maulanusantara.wordpress.com/2009/05/18/koperasi-kemiskinan-dan-runtuhnya-solidaritas-ekonomi/